Kamis, 04 Juni 2015

Kyoukai no Oretachi no Sekai - Chapter 2


Kyoukai no Oretachi no Sekai 
Chapter 2: Hari Baru Kobayashi Sakura


Sudah dua puluh menit berlalu. Bis yang aku tumpangi juga sudah meninggalkanku, tapi Paman belum juga datang. Berkali-kali aku mengecek ponselku. Berkali-kali aku melihat isi pesan sebelumnya.
Mungkin sedang ada urusan mendadak.
Kuputuskan untuk mencoba peruntunganku. Kututup ponselku dan kumasukkan ke dalam tas kecil yang bertengger di bahuku. Kuraih koper yang kugeletakkan di tanah dan mulai menggeretnya seiring langkahku.


~

Ini masih terlalu pagi. Jam di dinding masih menunjukkan pukul empat saat mataku terbuka dari tidurku yang tidak nyenyak, sama sekali. Akhirnya kuputuskan untuk merapikan futon[1] dan menuju dapur untuk membuat bekal.
“Selamat pagi Sakura-chan,” sapa Paman.
Aku tersenyum, “Selamat pagi, Paman.”
“Tidurmu nyenyak?”
Aku mengangguk, “Iya.”
Paman adalah adik terakhir Mama. Bukan keinginannya untuk tinggal sendiri, tapi istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan. Klasik, alasan cintalah yang membuatnya tetap memilih hidup sendiri.
Kulihat wajah bingungnya, “Ada apa Paman?”
“Wajahmu terlihat lelah, sejak datang Paman belum melihatmu tersenyum. Apa perjalanan ke sini sangat melelahkan?” ujarnya sambil menilik tiap sudut wajahku.
Aku membalikkan badan cepat, “Aku baik-baik saja Paman. Perjalanan ke sini menyenangkan.”
 “Maaf ya jadi kamu yang membuatkan sarapan padahal baru saja pindah.”
“Gak apa-apa,” ucapku sambil mengocok telur.
Tersenyum, tersenyum, tersenyum! Bergeraklah otot-otot pipiku!
Kudengar suara pukulan kutebak itu adalah suara telapak tangan bertemu dahi, sepertinya Paman sudah terlambat kerja.
Kantor Paman ada di kota, tempatku tinggal sebelum ke sini, tapi Paman selalu memilih pergi-pulang seperti ini kecuali lembur atau ada urusan bisnis. Memang sih hanya perlu waktu dua jam menggunakan mobil, tapi itu cukup melelahkan. Mama pernah menawari Paman untuk tinggal di rumah tapi Paman menolaknya. Paman bilang, dia lebih suka berada di rumah ini, rumah yang akan selalu membuatnya merasa nyaman. Rumah yang selalu membuatnya merasa ‘pulang’. Klasik, masalah cinta lagi.

Kudengar suara mobil dinyalakan kemudian menjauh setelah suara pintu digeser. Sepertinya Paman lupa kalau aku bagian dari rumahnya sekarang ini karena Paman pergi tanpa pamit padaku. Tapi bukan masalah.
Aku menghela napas dan menyantap telur gulungku.

~

Paman sudah memberiku secarik kertas berisi peta menuju sekolah baruku. Walau belum sempat berjalan-jalan, kalau dilihat dari peta yang diberikan ini tidak jauh dan tidak akan membuatku tersesat.
Kupasang headset di telingaku setelah mengunci pintu.
Tidak banyak yang berubah dari desa ini. Waktu kecil beberapa kali ke sini dan sepupuku mengajakku berkeliling. Masih sama, sawah milik warga yang terbentang luas itu. Para petani sedang sibuk menggarap lahan masing-masing. Sudah tidak begitu dingin, malah terasa sejuk. Sudah dua minggu sejak musim semi memekarkan tanaman-tanaman.
Aku terhenti sejenak dua ratus meter dari halte. Mataku melihat kuil di atas gunung, terlihat tua tapi sejuk. Aku terpikir untuk berjalan-jalan di sana, nanti.
Aku menghela napas dan kembali berjalan. Dentuman suara musik bersama suara khas Mamoru Miyano memanjakan telingaku.
Menuju sekolah harus melewati halte ini ke arah hutan. Bukan hutan tidak terjamah karena sudah dibuat jalan, tapi aku tidak suka, tapi ini lebih baik dari kota.
Desa ini memang agak terpencil, dikelilingi hutan dan sungai kecil. Kalau sejuk seperti ini menyenangkan kan? Lebih damai. Aku suka seperti ini, tanpa ada yang mengganggu. Siapa pun.
Di ujung jalan aku melihat bangunan dua lantai. Hanya dua lantai dan tidak begitu besar. Setidaknya bukan gedung dari kayu yang berbau lumut. Cukup terlihat seperti gedung sekolah.
Sepi. Sepertinya aku sedikit terlambat. Aku mencari ruangan yang berlabel ‘kantor guru’. Sudah seharusnya aku ke ruang ini, mencari wali kelas yang akan membawaku ke kelas baruku.

Aku mengetuk pintu tiga kali lalu menggeser pintu yang terlihat tua ini.
“Permisi,” ucapku sambil menjulurkan kepala mencari orang.
Kosong. Apa semua sensei sedang berada di kelas? Ini bukan hari Minggu atau hari libur yang tidak ada di kalender atau sudah ditentukan pemerintah secara tiba-tiba kan?
“Ah! Kamu…”
Suara sapaan itu sukses mengagetkanku. Membuatku hampir terloncat dan otot-otot jantungku berkontraksi nyaris membuat jantungku pecah.
“Permisi,” ucapku lagi setelah menyadari yang mengagetkanku adalah seorang pria tua dengan wajah ramah, baru saja keluar dari ruang kecil di pojok sana.
“Saya siswa pindahan yang masuk mulai hari ini,” ucapku lagi.
“Oh iya, mari saya antar ke kelas barumu.”
Sepertinya pria tua ini adalah kepala sekolah.
“Apa kamu tersesat?”
“Tidak, hanya menikmati perjalanan. Hutan di depan sekolah sangat menyejukkan. Apa saya terlambat?”
“Anak muda memang harus terlambat satu-dua kali, bukan untuk rutinitas agar kehidupan lebih menyenangkan,” ucapnya dengan nada riang diakhiri tawa kecil.
Rambut pria ini sudah memutih, pastilah dia sudah berusia lima puluh tahun lebih. Aku menebaknya sebagai kepala sekolah di sini. Pria tua ini berhenti di depan sebuah pintu lalu mengetuknya, “Ini kelas barumu,” ucapnya sebelum menggeser pintu.
Aku melihat ke papan yang tergantung di atas pintu. Tertulis angka dua dan angka dua lagi. Aku melihat ke papan yang ada di atas pintu lain. Sepertinya hanya ada dua kelas di masing-masing tingkat kelas di sekolah ini.

~

“Kobayashi Sakura,” ucapku singkat.
Sensei tidak protes dan tidak memintaku berbicara lebih lanjut. Aku tidak suka ini. Aku benci saat semua mata tertuju padaku seperti ini. Sepertinya beliau juga tidak suka pelajarannya terganggu karena aku datang terlambat.
“Duduklah di sebelah Korigawa Shiyo,” ucapnya.
Entah kenapa dia tidak menjelaskan apa-apa tentang orang yang disebut tadi. Lagi, orang yang disebut tadi, kenapa tidak mengangkat tangan atau apa. Apa mereka pikir aku punya indra keenam yang bisa tahu nama orang hanya dari melihat wajahnya?
Tapi sebenarnya tidak sulit, ada dua kursi kosong di deretan belakang. Ada seorang gadis di deretan tengah. Rambutnya yang hitam legam bercahaya terkena pantulan sinar mentari pagi.
Aku tidak suka duduk di dekat jendela. Aku bukan karakter utama di manga yang suka duduk di spot populer, di ujung kelas dekat jendela, deretan belakang. Jadi, aku memilih duduk di samping gadis berambut hitam indah yang terlihat sekali kikuknya dan mengabaikan kursi kosong di dekat jendela. Sepertinya pemilik kursi itu sedang tidak hadir. Apa peduliku, aku tidak suka duduk di dekat jendela.

Belum sepuluh menit aku duduk di kursiku gadis di sebelahku sudah berbuat hal menyebalkan: berisik.
Tadi, ketika aku baru duduk, gadis itu tersenyum, terlihat sekali dia ingin menyapaku tapi aku mengabaikannya. Pilihanku tepat, walau terlihat kikuk, rupanya dia berisik sekali.
Aku berusaha mengabaikannya selama jam pelajaran berlangsung. Saat jam istirahat aku tidak berminat mencari spot lain, aku tidak mau keluar kelas. Dan akhirnya aku berhasil mengabaikannya sampai jam pelajaran berakhir.

~

Ini hari kedua dan belum lima menit pelajaran di mulai dia sudah mulai berisik. Aku sudah tidak tahan dengan kelakuannya padahal ini baru jam pertama. Aku menggebrak meja membuat seisi kelas menoleh padaku.
“Berisik!” desisku pelan.
“Maaf, saya perlu ke toilet.”
Aku hampir kelepasan. Hampir saja.
Karena aku belum berjalan-jalan di hari pertama kemarin, aku belum tahu letak toilet. Aku mengelilingi lantai dua dan malah menemukan beranda.
“Sepertinya bagus menghabiskan waktu di sini.”
Beranda ini ada tanaman dan terkena paparan cahaya yang cukup. Tidak berbau lembab.
Aku harus mencari toilet.

~

“Maaf, apa tadi aku mengganggumu?” ucap gadis berambut hitam di sampingku. Siapa namanya?
Aku meliriknya sekilas, wajahnya terlihat sekali kikuk. Aku tahu dia mencoba berbicara padaku sejak jam istirahat dan baru sekarang, pulang, dia berani berbicara denganku.
“Iya,” ucapku sambil beranjak hendak pulang.
Dia mengikutiku.
“Anu, aku Korigawa Shiyo…”
Oh, Shiyo.
Dia kembali bergerak-gerak gelisah membuatku kesal. Sepanjang jalan pulang dia mengikutiku.
Aku berbalik, “Apa?!”
Shiyo terdiam melihatku, dua detik, lalu dia tersadar, “Kamu bisa mendengar ‘dia’?”
Sialan! Aku salah ingat suaranya!
Aku berbalik badan dan melangkah besar-besar. Shiyo mengikutiku dan menghujaniku dengan pertanyaan yang sama, “Kamu bisa mendengarnya Kobayashi-san?” “Kamu dengar dia meminta tolong?”
Aku berhenti sambil menghentakkan kaki. Lalu memelototinya tidak senang. Terlihat sekali dia gugup.
“Anu…” ucapnya seraya mencari kata-katanya yang tiba-tiba menghilang.
Aku menatapnya kesal, menunggu jawaban. Dia hanya melirik ke kanan dan ke kiri seakan akan ada orang yang memberinya papan bertuliskan sesuatu.
“Diam!” ucapku akhirnya.
Tidak, bukan untuk Shiyo. Aku sudah bisa menghapal suaranya yang lembut. Bentakanku kuberikan untuk sesuatu melayang yang sedari tadi mengikutinya. Aku menyerah diam, mendiamkannya. Berisiknya menggangguku. Tapi Shiyo terlonjak kaget, padahal aku tidak cukup nyaring mengeluarkan suara.
Obake[2] itu memberi tatapan merendahkan sekaligus tidak suka. Harusnya dia tahu akulah orang yang merasa terganggu dan tidak suka di sini.
“Pergi atau aku akan menyirammu dengan air suci!”
Aku tahu aku tidak memberi pilihan tapi aku benci harus berlembut-lembut pada mereka. Aku memilih pindah ke sini karena para youkai di kota sangat keras kepala dan berisik, di samping alasan lain. Dan di sini aku merasa aku lebih tenang.
“Tolong katakan perasaanku pada pria itu ya, ya?” Obake itu tidak menyerah dan terus mengucap permintaannya seperti merapel mantra, berulang kali.
“Aku bilang diam! Berisik!” desisku kesal.
Suara obake semacam ini membuat telingaku sakit, suara melengkingnya terlebih tidak berhenti seperti kaset rusak.
Shiyo melihatku bingung.
Aku mengeluarkan botol airku dari dalam tas, ini tidak membuat obake itu khawatir. Sepertinya dia mau lihat bagaimana tubuhnya terbakar.
Aku membuka tutup botol dan menyiram tanganku lalu memercikkannya ke obake itu. Tubuhnya yang terkena cipratan air dari tanganku menguap. Wajah pucat obake itu terpahat raut ngeri dan detik berikutnya dia menghilang.
Bisa kulihat wajah lega Shiyo.
“Sudah puas? Pulang sana, jangan mengikutiku.”
“Kamu membawa air suci ke mana-mana? Bukannya itu air minummu ya tadi?”
Kenapa orang ini jadi berisik begini sih? Aku pikir dia orang yang lumayan kikuk. Aku mengabaikannya.
Di halte aku meninggalkannya.
“Jangan mengikutiku!” ucapku tanpa menghentikan langkah.
“Rupanya kau punya kekuatan supranatural cukup kuat,” ucap suara itu.
“Bukan urusanmu, dan ini bukan keinginanku.”
“Tapi kekuatanmu semakin meningkat sejak kau pindah ke desa ini. Kau juga pasti merasakannya. Kau bisa mengubah air biasa menjadi air suci.”
Aku berhenti dan berbalik badan. Aku terkejut. Aura yang terpancar sangat besar tapi hanya youkai kecil bepakaian rumput kering yang ada di sana.
“Jangan mengikutiku!” ucapku lagi, berusaha menyembunyikan kekagetanku.
Youkai berbadan biru dengan kepala bulat aneh itu tersenyum ramah dan sedikit kekehan ala orang tua, “Aku hanya ingin menyapa. Namaku Aburasumashi, aku tinggal dekat kuil di sana.”
Aku memandanginya lekat-lekat.
Youkai itu tersenyum ramah, “Kita berteman,” ucapnya sebelum menghilang.
“Berteman?”
Tidak mungkin.
Aku teringat kejadian saat aku masih kecil, ketika aku di TK dan bermain-main dengan youkai tetapi diejek oleh teman-temanku yang tidak bisa melihat mereka. Bahkan orangtuaku juga sempat menganggapku gila dan kelainan jiwa. Mereka bahkan membawaku ke psikiater. Sejak saat itu aku harus mengabaikan para youkai agar bisa bersosialisasi dengan normal, walau aku tidak pernah menggunakan sosialisasi lagi.
“Sakura-chan?”
Aku kaget, Paman menyapaku sambil menyetir dari dalam mobil. Aku terlalu larut dalam pikiranku, membuatku tidak sadar. Tidak pernah seperti ini. Aku selalu tahu saat ada orang akan mengagetkanku, melihatku dari jauh, dan semacamnya. Bahkan saat baru turun dari bis, Shiyo memperhatikanku dari halte, ada youkai yang memberi tahu.
“Iya, Paman.”
Aku naik dan duduk di kursi penumpang.

~

Aku memandang langit-langit kamar. Malam ini hening. Malam ini aku yakin bisa tidur dengan tenang. Malam sebelumnya dan sebelumnya, obake yang tinggal di rumah tetangga menggangguku, berisik dan berkeliaran di kamar. Mengabaikannya dan pura-pura tidak tahu mengusikku. Di keluarga Mama tidak ada yang bisa melihat youkai. Aku tidak mau dikira aneh oleh Paman. Tapi malam ini aku sudah memercikkan air suci ke sekeliling pagar.
Hening. Hening seperti malam itu.

~

“Sakura-chan…”
“Iyaaa…!” sahutku semangat menjawab panggilan Papa.
Aku terdiam ketika Papa membawa seorang wanita cantik. Dia bukan Mama, Mama lebih cantik.
“Tante siapa?” tanyaku bingung sekaligus tidak suka, ada firasat buruk saat kulihat wanita pucat itu.
“Tante ini akan jadi Mama untuk Sakura-chan,” jawab Papa dengan ringan.
Aku berlari ke kamar dengan kesal, “Mama Sakura-chan cuma satu!”
Mama memang sudah tidak pulang ke rumah sejak sekitar tiga bulan lalu. Aku tidak tahu kabar Mama. Aku bahkan tidak ingat apa yang aku lakukan bersama Mama terakhir kali. Seusia belia ini aku tahu alasan Mama pergi tanpa alasan.

~

Papa tidak bisa membedakan youkai dan manusia, itu yang Kakek katakan padaku ketika aku kelas lima. Saat aku mulai mengerti apa itu wanita ‘lain’, tapi bukan itu masalahnya. Kalau cinta walau ada orang lain, lebih cantik, atau apa pun seharusnya tidak berpaling, kan?
Kecelakaan yang merenggut nyawa istri dan anak Paman bukan hanya luka untuk Paman, tapi untukku juga. Paman dan Papa bekerja di perusahaan yang sama. Perjalanan bisnis sekaligus wisata keluarga. Paman membawa istri dan anaknya, tapi Papa malah membawa wanita youkai itu, bukan aku dan Mama. Wanita youkai itu pandai menyamar, aku tidak tahu, saat itu.
Kecelakaan itu membuat Papa koma, ini sudah tahun kelimanya diam tanpa membuka mata. Dan Mama dengan cintanya yang tolol kembali karena mendengar kabar tragis itu dan masih mau merawatnya. Aku tidak mau terus berada di kota yang sama dengan orang yang sampai saat ini masih kupanggil Papa, karena Mama mencintainya.

~

Sudah satu minggu aku duduk di kursi ini. Ketika aku sampai di kelas, ada tas yang tergantung di samping meja. Ada seorang laki-laki berwajah pucat sedang meletakkan kepalanya di meja. Dia menikmati sinar mentari menyapanya. Samar, aku melihatnya tersenyum.
“Itu mejaku,” ucapku.
Dia mengangkat kepalanya, melihat ke arahku.
“Ini mejaku.”
Mungkin orang satu kelas tahu aku duduk di meja yang sudah ada pemiliknya, tapi karena dia tidak pernah datang—aku bahkan baru melihatnya di hari ketujuhku—jadi tidak ada yang mempermasalahkannya.
Seisi kelas berbisik dan aku tahu semua sedang menatap kami.
Dia meletakkan dagunya di tangan seakan menyuruhku duduk di kursi kosong dekat jendela. Harusnya dia yang duduk di kursi kosong itu kalau dia sebegitu sukanya menikmati sinar mentari pagi!
Aku menghela napas. Aku tidak suka berlama-lama menjadi sorotan orang-orang. Walau aku tidak suka duduk dekat jendela, aku tetap melangkah dan menggantung tas di samping meja. Aku tidak suka saat para youkai mondar-mandir di jendela, walau ini lantai dua dan ini bukan masalah buat mereka!
Aku baru duduk di kursi saat Shiyo berpegangan pada pintu dengan terengah. Mulutnya yang berusaha mencari udara bergerak-gerak mengucapkan ‘selamat pagi’. Terlihat wajahnya lega, sepertinya dia agak kesiangan hari ini. Shiyo mendekat dan tersenyum, “Selamat pagi Hiroshi-kun.”
Laki-laki menyebalkan itu membalas lalu meletakkan posisi kepalanya seperti sebelumnya, artinya dia melihatku. Dia melihatku. Dia pasti melihatku. Aaahhh! Aku benci ini. Diam! Jangan beri tahu aku!
“Aku sudah membuatkan catatan selama kamu tidak hadir. Bagaimana keadaanmu?”
“Seperti sebelumnya,” jawab laki-laki itu tanpa menoleh ke arah Shiyo.
“Oh, Kobayashi-san. Selamat pagi,” dari sudut mataku bisa kulihat Shiyo berusaha tersenyum.
Tapi aku mengabaikannya. Berpura-pura masih mendengarkan headset yang masih terpasang di telingaku.
Laki-laki itu masih melihatku, “Kamu dengar kan dia menyapamu? Kenapa tidak kamu balas?”
Cerewet sekali laki-laki ini!

~

Saat bel istirahat berbunyi aku bergegas menuju beranda. Aku mau makan bekal di sana.
Cuaca hari ini sangat baik.
Kudengar suara pintu terbuka, ketika aku menoleh kulihat laki-laki itu bersama Shiyo, “Ngapain kalian di sini?”
Laki-laki itu memilih duduk di pagar sementara Shiyo duduk di depanku. Dia meletakkan bekalnya di meja lalu membukanya satu-satu.
Mereka mengabaikanku. Aku manusia loh!
“Hiroshi-kun, ayo kita makan.”
Shiyo menatapku ragu, “Anu… Boleh kan kita makan bersama?”
“Terserah,” ucapku sambil memasukkan terlur gulung ke dalam mulut.
“Anu…”
Ada apa sih dengan orang ini?
“Hiroshi-kun, Kobayashi-san juga bisa melihat youkai.”
Juga?
Pernyataannya menarik perhatianku, aku melirik dan melepas pandanganku dari kotak bekalku untuk pertama kalinya. Saat itu, tidak sengaja, mata kami bertemu—mataku dan laki-laki bernama Hiroshi itu.
Laki-laki itu memberi respon dengan malas-malasan. Menyebalkan.

~

“Hiroshi-kun sejak kelas dua SMP sering sakit-sakitan. Sudah dibawa ke dokter di kota tapi dokter bilang dia sehat-sehat saja, hanya kelelahan.”
Itu yang Shiyo katakan ketika kami mampir ke toilet sebelum kelas berlangsung.
Kenapa juga aku harus mengingat detil seperti itu?
“Rumah Hiroshi-kun tidak jauh dari konbini dekat halte.”
Aaah! Kenapa aku—tunggu! Ini bukan isi kepalaku…
Aku meraih gelas kecil berisi air dan menyiramnya ke udara, tidak lama terdengar teriakan dan desisan uap.
“Jangan menggangguku! Pergi sana!” ucapku pada obake rumah tetangga yang entah kenapa jadi sering datang ke sini.
Kasih tahu tidak ya? Tapi…

~

“Ada youkai level tinggi yang memakan energimu,” ucapku akhirnya.
Bisa kulihat Shiyo mendekap mulutnya, tidak percaya.
“Aku tahu,” ucap Hiroshi tenang, “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara membuatnya pergi.”
“Tapi, tapi… aku—,” Shiyo tergagap.
“Dia sering menyembunyikan auranya dengan menyamarkannya seperti aura manusia biasa. Aku suka berjemur agar sedikit terasa lega.”
Aku menghela napas, “Oi Jii-san, kenapa gak keluar dan beri dia solusi?”
Jii-san?” Shiyo memiringkan kepalanya.
“Kakek biru itu harusnya tahu,” ucapku malas karena Aburasumashi itu terus bersembunyi dan menyembunyikan auranya.
Jii-san?”
Tidak lama terdengar suara kekehan yang kudengar beberapa hari lalu.
“Tebakanku benar,” ucap Aburasumashi itu sembari memunculkan diri, “Kenapa tidak kau coba dengan kemampuan air sucimu?”
“Kenapa aku harus melakukannya?” tanyaku sewot.
Untuk apa aku membantu laki-laki yang membuatku kesal di hari pertama bertemu dan bahkan tidak ramah sama sekali.
“Kobayashi-san, kumohon.”
Shiyo mendekapkan dua telapak tangannya dengan wajah memelas.
Aku tidak punya pilihan, wajah Hiroshi masih datar tapi dia menatapku seakan ingin tahu kebenaran yang tadi dia dengar.
“Oi, kenapa terus bersembunyi di situ?” ucapku pada udara di sekitar Hiroshi.
Tidak lama angin kencang bertiup ketika sosok besar muncul di punggung Hiroshi. Youkai itu menggerak-gerakkan sesuatu seperti mulut, tidak bersuara normal hanya terdengar lengkingan tapi aku tahu dia tidak suka diganggu. Harusnya dia tahu aku lebih tidak suka mendengar suara cemprengnya dan aku tidak mau melakukan ini demi laki-laki menyebalkan macam dia.
Aku mengarahkan botol minumku yang terbuka ke arah Hiroshi membuat Hiroshi basah kuyup dan sukses membuatnya melirikku tajam. Air suci seperti ini tidak akan berpengaruh banyak pada youkai level tinggi. Youkai itu menjauh sebentar lalu kembali mendekat untuk kembali menempel pada Hiroshi. Aburasumashi menarik satu helai rumput kering dari pakaiannya dan melemparkannya pada youkai itu. Sekejap youkai itu menghilang.
Aku terkejut. Aku tahu Aburasumashi ada pada level youkai yang tidak bisa dianggap enteng tapi aku tidak tahu hanya seperti itu bisa membuat seorang youkai menghilang. Menghilang! Youkai level tinggi yang bisa menyamarkan auranya!
Jii-san, kenapa tidak Jii-san lakukan dari dulu?”
Aburasumashi terkekeh, “Kalau kulakukan saat youkai itu menempel padanya, nyawa dia bisa ikut pergi.”
Aku dimanfaatkan. Cih.

…bersambung…
_Indara_


[1] Tempat tidur ala Jepang
[2] hantu

2 komentar:

  1. Hai Mayusa dan Indara! Salam kenal.

    Saya sudah baca chapter 1 & 2~
    Btw, sinopsisnya mana, ya? Kalau langsung dari chapter I itu rasanya agak aneh karena nggak ada bayangan tema atau masalah apa yang akan diceritakan. Saran saya, sinopsisnya dibikin ya.

    Di chapter I ada kata-kata asing yang harus diberi catatan kaki (seperti kombini -walau udah ada di chapter II).

    Sebenarnya saya sempat bingung dengan gender tokoh di chapter I sebelum dijelaskan di chapter II :)

    Kemudian, rasanya tokoh Shiyo di chapter I dan chapter II itu agak beda -dari dialog-, di chapter I saya merasa dia orangnya tidak kikuk tapi di chapter II kikuk banget, jadi timpang karakternya. Mungkin bisa dijelaskan? Apa saya yang salah persepsi, ya?

    Wah, udah cukup panjang saya komat-kamit di sini. Maaf ya!

    Keep writing!

    BalasHapus
  2. Hai juga Ariestanabirah, salam kenal~
    terima kasih sudah berkunjung, membaca dan berkomentar ^^?
    sinopsis ya... hmm kami gak kepikiran hehe, terima kasih masukannya... kami tampung; catatan kaki juga, agak lalai nih... tehe~
    nah untuk gender, hmmm -chan gak keliatan dia cewek? walau -chan juga dipakai untuk anak kecil cowok seperti Shin-chan? tapi untuk anak cowok lebih menjurus -kun, kan? tapi kalau mengganjal, sepertinya perlu ada sedikit revisi deh... makasih
    nah kalau kekikukan Shiyo itu cuma terhadap orang baru... gak keliatan? di chapter satu Shiyo juga kikuk waktu pertama kali berkenalan dengan Aburasumashi, hehe... kurang nampak ya? hmm :s
    after all, arigatou gozaimasta ^^/

    BalasHapus

komentari ya ^^/