Kyoukai no Oretachi no Sekai
Chapter 2: Hari Baru Kobayashi Sakura
Sudah dua puluh menit berlalu. Bis yang aku tumpangi juga sudah
meninggalkanku, tapi Paman belum juga datang. Berkali-kali aku mengecek
ponselku. Berkali-kali aku melihat isi pesan sebelumnya.
Mungkin sedang ada urusan mendadak.
Kuputuskan untuk mencoba peruntunganku. Kututup ponselku dan
kumasukkan ke dalam tas kecil yang bertengger di bahuku. Kuraih koper yang
kugeletakkan di tanah dan mulai menggeretnya seiring langkahku.
~
Ini masih terlalu pagi. Jam di dinding masih menunjukkan pukul
empat saat mataku terbuka dari tidurku yang tidak nyenyak, sama sekali.
Akhirnya kuputuskan untuk merapikan futon[1]
dan menuju dapur untuk membuat bekal.
“Selamat pagi Sakura-chan,” sapa Paman.
Aku tersenyum, “Selamat pagi, Paman.”
“Tidurmu nyenyak?”
Aku mengangguk, “Iya.”
Paman adalah adik terakhir Mama. Bukan keinginannya untuk tinggal
sendiri, tapi istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan. Klasik, alasan
cintalah yang membuatnya tetap memilih hidup sendiri.
Kulihat wajah bingungnya, “Ada apa Paman?”
“Wajahmu terlihat lelah, sejak datang Paman belum melihatmu
tersenyum. Apa perjalanan ke sini sangat melelahkan?” ujarnya sambil menilik
tiap sudut wajahku.
Aku membalikkan badan cepat, “Aku baik-baik saja Paman. Perjalanan
ke sini menyenangkan.”
“Maaf ya jadi kamu yang
membuatkan sarapan padahal baru saja pindah.”
“Gak apa-apa,” ucapku sambil mengocok telur.
Tersenyum, tersenyum, tersenyum! Bergeraklah otot-otot pipiku!
Kudengar suara pukulan kutebak itu adalah suara telapak tangan
bertemu dahi, sepertinya Paman sudah terlambat kerja.
Kantor Paman ada di kota, tempatku tinggal sebelum ke sini, tapi
Paman selalu memilih pergi-pulang seperti ini kecuali lembur atau ada urusan
bisnis. Memang sih hanya perlu waktu dua jam menggunakan mobil, tapi itu cukup
melelahkan. Mama pernah menawari Paman untuk tinggal di rumah tapi Paman
menolaknya. Paman bilang, dia lebih suka berada di rumah ini, rumah yang akan
selalu membuatnya merasa nyaman. Rumah yang selalu membuatnya merasa ‘pulang’.
Klasik, masalah cinta lagi.
Kudengar suara mobil dinyalakan kemudian menjauh setelah suara
pintu digeser. Sepertinya Paman lupa kalau aku bagian dari rumahnya sekarang
ini karena Paman pergi tanpa pamit padaku. Tapi bukan masalah.
Aku menghela napas dan menyantap telur gulungku.
~
Paman sudah memberiku secarik kertas berisi peta menuju sekolah
baruku. Walau belum sempat berjalan-jalan, kalau dilihat dari peta yang
diberikan ini tidak jauh dan tidak akan membuatku tersesat.
Kupasang headset di telingaku setelah mengunci pintu.
Tidak banyak yang berubah dari desa ini. Waktu kecil beberapa kali
ke sini dan sepupuku mengajakku berkeliling. Masih sama, sawah milik warga yang
terbentang luas itu. Para petani sedang sibuk menggarap lahan masing-masing.
Sudah tidak begitu dingin, malah terasa sejuk. Sudah dua minggu sejak musim
semi memekarkan tanaman-tanaman.
Aku terhenti sejenak dua ratus meter dari halte. Mataku melihat
kuil di atas gunung, terlihat tua tapi sejuk. Aku terpikir untuk berjalan-jalan
di sana, nanti.
Aku menghela napas dan kembali berjalan. Dentuman suara musik
bersama suara khas Mamoru Miyano memanjakan telingaku.
Menuju sekolah harus melewati halte ini ke arah hutan. Bukan hutan
tidak terjamah karena sudah dibuat jalan, tapi aku tidak suka, tapi ini lebih
baik dari kota.
Desa ini memang agak terpencil, dikelilingi hutan dan sungai kecil.
Kalau sejuk seperti ini menyenangkan kan? Lebih damai. Aku suka seperti ini,
tanpa ada yang mengganggu. Siapa pun.
Di ujung jalan aku melihat bangunan dua lantai. Hanya dua lantai
dan tidak begitu besar. Setidaknya bukan gedung dari kayu yang berbau lumut.
Cukup terlihat seperti gedung sekolah.
Sepi. Sepertinya aku sedikit terlambat. Aku mencari ruangan yang
berlabel ‘kantor guru’. Sudah seharusnya aku ke ruang ini, mencari wali kelas
yang akan membawaku ke kelas baruku.
Aku mengetuk pintu tiga kali lalu menggeser pintu yang terlihat tua
ini.
“Permisi,” ucapku sambil menjulurkan kepala mencari orang.
Kosong. Apa semua sensei sedang berada di kelas? Ini bukan
hari Minggu atau hari libur yang tidak ada di kalender atau sudah ditentukan
pemerintah secara tiba-tiba kan?
“Ah! Kamu…”
Suara sapaan itu sukses mengagetkanku. Membuatku hampir terloncat
dan otot-otot jantungku berkontraksi nyaris membuat jantungku pecah.
“Permisi,” ucapku lagi setelah menyadari yang mengagetkanku adalah
seorang pria tua dengan wajah ramah, baru saja keluar dari ruang kecil di pojok
sana.
“Saya siswa pindahan yang masuk mulai hari ini,” ucapku lagi.
“Oh iya, mari saya antar ke kelas barumu.”
Sepertinya pria tua ini adalah kepala sekolah.
“Apa kamu tersesat?”
“Tidak, hanya menikmati perjalanan. Hutan di depan sekolah sangat
menyejukkan. Apa saya terlambat?”
“Anak muda memang harus terlambat satu-dua kali, bukan untuk
rutinitas agar kehidupan lebih menyenangkan,” ucapnya dengan nada riang
diakhiri tawa kecil.
Rambut pria ini sudah memutih, pastilah dia sudah berusia lima
puluh tahun lebih. Aku menebaknya sebagai kepala sekolah di sini. Pria tua ini
berhenti di depan sebuah pintu lalu mengetuknya, “Ini kelas barumu,” ucapnya
sebelum menggeser pintu.
Aku melihat ke papan yang tergantung di atas pintu. Tertulis angka
dua dan angka dua lagi. Aku melihat ke papan yang ada di atas pintu lain.
Sepertinya hanya ada dua kelas di masing-masing tingkat kelas di sekolah ini.
~
“Kobayashi Sakura,” ucapku singkat.
Sensei
tidak protes dan tidak memintaku berbicara lebih lanjut. Aku tidak suka ini.
Aku benci saat semua mata tertuju padaku seperti ini. Sepertinya beliau juga
tidak suka pelajarannya terganggu karena aku datang terlambat.
“Duduklah di sebelah Korigawa Shiyo,” ucapnya.
Entah kenapa dia tidak menjelaskan apa-apa tentang orang yang
disebut tadi. Lagi, orang yang disebut tadi, kenapa tidak mengangkat tangan
atau apa. Apa mereka pikir aku punya indra keenam yang bisa tahu nama orang
hanya dari melihat wajahnya?
Tapi sebenarnya tidak sulit, ada dua kursi kosong di deretan belakang.
Ada seorang gadis di deretan tengah. Rambutnya yang hitam legam bercahaya
terkena pantulan sinar mentari pagi.
Aku tidak suka duduk di dekat jendela. Aku bukan karakter utama di
manga yang suka duduk di spot populer, di ujung kelas dekat jendela, deretan
belakang. Jadi, aku memilih duduk di samping gadis berambut hitam indah yang
terlihat sekali kikuknya dan mengabaikan kursi kosong di dekat jendela.
Sepertinya pemilik kursi itu sedang tidak hadir. Apa peduliku, aku tidak suka
duduk di dekat jendela.
Belum sepuluh menit aku duduk di kursiku gadis di sebelahku sudah
berbuat hal menyebalkan: berisik.
Tadi, ketika aku baru duduk, gadis itu tersenyum, terlihat sekali
dia ingin menyapaku tapi aku mengabaikannya. Pilihanku tepat, walau terlihat
kikuk, rupanya dia berisik sekali.
Aku berusaha mengabaikannya selama jam pelajaran berlangsung. Saat
jam istirahat aku tidak berminat mencari spot lain, aku tidak mau keluar kelas.
Dan akhirnya aku berhasil mengabaikannya sampai jam pelajaran berakhir.
~
Ini hari kedua dan belum lima menit pelajaran di mulai dia sudah
mulai berisik. Aku sudah tidak tahan dengan kelakuannya padahal ini baru jam
pertama. Aku menggebrak meja membuat seisi kelas menoleh padaku.
“Berisik!” desisku pelan.
“Maaf, saya perlu ke toilet.”
Aku hampir kelepasan. Hampir saja.
Karena aku belum berjalan-jalan di hari pertama kemarin, aku belum
tahu letak toilet. Aku mengelilingi lantai dua dan malah menemukan beranda.
“Sepertinya bagus menghabiskan waktu di sini.”
Beranda ini ada tanaman dan terkena paparan cahaya yang cukup.
Tidak berbau lembab.
Aku harus mencari toilet.
~
“Maaf, apa tadi aku mengganggumu?” ucap gadis berambut hitam di
sampingku. Siapa namanya?
Aku meliriknya sekilas, wajahnya terlihat sekali kikuk. Aku tahu
dia mencoba berbicara padaku sejak jam istirahat dan baru sekarang, pulang, dia
berani berbicara denganku.
“Iya,” ucapku sambil beranjak hendak pulang.
Dia mengikutiku.
“Anu, aku Korigawa Shiyo…”
Oh, Shiyo.
Dia kembali bergerak-gerak gelisah membuatku kesal. Sepanjang jalan
pulang dia mengikutiku.
Aku berbalik, “Apa?!”
Shiyo terdiam melihatku, dua detik, lalu dia tersadar, “Kamu bisa
mendengar ‘dia’?”
Sialan! Aku salah ingat suaranya!
Aku berbalik badan dan melangkah besar-besar. Shiyo mengikutiku dan
menghujaniku dengan pertanyaan yang sama, “Kamu bisa mendengarnya
Kobayashi-san?” “Kamu dengar dia meminta tolong?”
Aku berhenti sambil menghentakkan kaki. Lalu memelototinya tidak
senang. Terlihat sekali dia gugup.
“Anu…” ucapnya seraya mencari kata-katanya yang tiba-tiba
menghilang.
Aku menatapnya kesal, menunggu jawaban. Dia hanya melirik ke kanan
dan ke kiri seakan akan ada orang yang memberinya papan bertuliskan sesuatu.
“Diam!” ucapku akhirnya.
Tidak, bukan untuk Shiyo. Aku sudah bisa menghapal suaranya yang
lembut. Bentakanku kuberikan untuk sesuatu melayang yang sedari tadi
mengikutinya. Aku menyerah diam, mendiamkannya. Berisiknya menggangguku. Tapi
Shiyo terlonjak kaget, padahal aku tidak cukup nyaring mengeluarkan suara.
Obake[2] itu memberi tatapan merendahkan sekaligus tidak suka. Harusnya dia
tahu akulah orang yang merasa terganggu dan tidak suka di sini.
“Pergi atau aku akan menyirammu dengan air suci!”
Aku tahu aku tidak memberi pilihan tapi aku benci harus
berlembut-lembut pada mereka. Aku memilih pindah ke sini karena para youkai
di kota sangat keras kepala dan berisik, di samping alasan lain. Dan di sini
aku merasa aku lebih tenang.
“Tolong katakan perasaanku pada pria itu ya, ya?” Obake itu
tidak menyerah dan terus mengucap permintaannya seperti merapel mantra,
berulang kali.
“Aku bilang diam! Berisik!” desisku kesal.
Suara obake semacam ini membuat telingaku sakit, suara
melengkingnya terlebih tidak berhenti seperti kaset rusak.
Shiyo melihatku bingung.
Aku mengeluarkan botol airku dari dalam tas, ini tidak membuat obake
itu khawatir. Sepertinya dia mau lihat bagaimana tubuhnya terbakar.
Aku membuka tutup botol dan menyiram tanganku lalu memercikkannya
ke obake itu. Tubuhnya yang terkena cipratan air dari tanganku menguap.
Wajah pucat obake itu terpahat raut ngeri dan detik berikutnya dia menghilang.
Bisa kulihat wajah lega Shiyo.
“Sudah puas? Pulang sana, jangan mengikutiku.”
“Kamu membawa air suci ke mana-mana? Bukannya itu air minummu ya
tadi?”
Kenapa orang ini jadi berisik begini sih? Aku pikir dia orang yang
lumayan kikuk. Aku mengabaikannya.
Di halte aku meninggalkannya.
“Jangan mengikutiku!” ucapku tanpa menghentikan langkah.
“Rupanya kau punya kekuatan supranatural cukup kuat,” ucap suara
itu.
“Bukan urusanmu, dan ini bukan keinginanku.”
“Tapi kekuatanmu semakin meningkat sejak kau pindah ke desa ini.
Kau juga pasti merasakannya. Kau bisa mengubah air biasa menjadi air suci.”
Aku berhenti dan berbalik badan. Aku terkejut. Aura yang terpancar
sangat besar tapi hanya youkai kecil bepakaian rumput kering yang ada di
sana.
“Jangan mengikutiku!” ucapku lagi, berusaha menyembunyikan
kekagetanku.
Youkai
berbadan biru dengan kepala bulat aneh itu tersenyum ramah dan sedikit kekehan
ala orang tua, “Aku hanya ingin menyapa. Namaku Aburasumashi,
aku tinggal dekat kuil di sana.”
Aku
memandanginya lekat-lekat.
Youkai
itu tersenyum ramah, “Kita berteman,” ucapnya sebelum menghilang.
“Berteman?”
Tidak
mungkin.
Aku teringat kejadian saat aku masih kecil, ketika aku di TK dan
bermain-main dengan youkai tetapi diejek oleh teman-temanku yang tidak
bisa melihat mereka. Bahkan orangtuaku juga sempat menganggapku gila dan
kelainan jiwa. Mereka bahkan membawaku ke psikiater. Sejak saat itu aku harus
mengabaikan para youkai agar bisa bersosialisasi dengan normal, walau
aku tidak pernah menggunakan sosialisasi lagi.
“Sakura-chan?”
Aku kaget, Paman menyapaku sambil menyetir dari dalam mobil. Aku
terlalu larut dalam pikiranku, membuatku tidak sadar. Tidak pernah seperti ini.
Aku selalu tahu saat ada orang akan mengagetkanku, melihatku dari jauh, dan
semacamnya. Bahkan saat baru turun dari bis, Shiyo memperhatikanku dari halte,
ada youkai yang memberi tahu.
“Iya, Paman.”
Aku naik dan duduk di kursi penumpang.
~
Aku memandang langit-langit kamar. Malam ini hening. Malam ini aku
yakin bisa tidur dengan tenang. Malam sebelumnya dan sebelumnya, obake
yang tinggal di rumah tetangga menggangguku, berisik dan berkeliaran di kamar.
Mengabaikannya dan pura-pura tidak tahu mengusikku. Di keluarga Mama tidak ada
yang bisa melihat youkai. Aku tidak mau dikira aneh oleh Paman. Tapi
malam ini aku sudah memercikkan air suci ke sekeliling pagar.
Hening. Hening seperti malam itu.
~
“Sakura-chan…”
“Iyaaa…!” sahutku semangat menjawab panggilan Papa.
Aku terdiam ketika Papa membawa seorang wanita cantik. Dia bukan
Mama, Mama lebih cantik.
“Tante siapa?” tanyaku bingung sekaligus tidak suka, ada firasat
buruk saat kulihat wanita pucat itu.
“Tante ini akan jadi Mama untuk Sakura-chan,” jawab Papa
dengan ringan.
Aku berlari ke kamar dengan kesal, “Mama Sakura-chan cuma
satu!”
Mama memang sudah tidak pulang ke rumah sejak sekitar tiga bulan
lalu. Aku tidak tahu kabar Mama. Aku bahkan tidak ingat apa yang aku lakukan
bersama Mama terakhir kali. Seusia belia ini aku tahu alasan Mama pergi tanpa
alasan.
~
Papa tidak bisa membedakan youkai dan manusia, itu yang
Kakek katakan padaku ketika aku kelas lima. Saat aku mulai mengerti apa itu
wanita ‘lain’, tapi bukan itu masalahnya. Kalau cinta walau ada orang lain,
lebih cantik, atau apa pun seharusnya tidak berpaling, kan?
Kecelakaan yang merenggut nyawa istri dan anak Paman bukan hanya
luka untuk Paman, tapi untukku juga. Paman dan Papa bekerja di perusahaan yang
sama. Perjalanan bisnis sekaligus wisata keluarga. Paman membawa istri dan
anaknya, tapi Papa malah membawa wanita youkai itu, bukan aku dan Mama.
Wanita youkai itu pandai menyamar, aku tidak tahu, saat itu.
Kecelakaan itu membuat Papa koma, ini sudah tahun kelimanya diam
tanpa membuka mata. Dan Mama dengan cintanya yang tolol kembali karena
mendengar kabar tragis itu dan masih mau merawatnya. Aku tidak mau terus berada
di kota yang sama dengan orang yang sampai saat ini masih kupanggil Papa,
karena Mama mencintainya.
~
Sudah satu minggu aku duduk di kursi ini. Ketika aku sampai di
kelas, ada tas yang tergantung di samping meja. Ada seorang laki-laki berwajah
pucat sedang meletakkan kepalanya di meja. Dia menikmati sinar mentari
menyapanya. Samar, aku melihatnya tersenyum.
“Itu mejaku,” ucapku.
Dia mengangkat kepalanya, melihat ke arahku.
“Ini mejaku.”
Mungkin orang satu kelas tahu aku duduk di meja yang sudah ada
pemiliknya, tapi karena dia tidak pernah datang—aku bahkan baru melihatnya di
hari ketujuhku—jadi tidak ada yang mempermasalahkannya.
Seisi kelas berbisik dan aku tahu semua sedang menatap kami.
Dia meletakkan dagunya di tangan seakan menyuruhku duduk di kursi
kosong dekat jendela. Harusnya dia yang duduk di kursi kosong itu kalau dia
sebegitu sukanya menikmati sinar mentari pagi!
Aku menghela napas. Aku tidak suka berlama-lama menjadi sorotan
orang-orang. Walau aku tidak suka duduk dekat jendela, aku tetap melangkah dan
menggantung tas di samping meja. Aku tidak suka saat para youkai
mondar-mandir di jendela, walau ini lantai dua dan ini bukan masalah buat
mereka!
Aku baru duduk di kursi saat Shiyo berpegangan pada pintu dengan
terengah. Mulutnya yang berusaha mencari udara bergerak-gerak mengucapkan ‘selamat
pagi’. Terlihat wajahnya lega, sepertinya dia agak kesiangan hari ini. Shiyo
mendekat dan tersenyum, “Selamat pagi Hiroshi-kun.”
Laki-laki menyebalkan itu membalas lalu meletakkan posisi kepalanya
seperti sebelumnya, artinya dia melihatku. Dia melihatku. Dia pasti melihatku. Aaahhh!
Aku benci ini. Diam! Jangan beri tahu aku!
“Aku sudah membuatkan catatan selama kamu tidak hadir. Bagaimana
keadaanmu?”
“Seperti sebelumnya,” jawab laki-laki itu tanpa menoleh ke arah
Shiyo.
“Oh, Kobayashi-san. Selamat pagi,” dari sudut mataku bisa
kulihat Shiyo berusaha tersenyum.
Tapi aku mengabaikannya. Berpura-pura masih mendengarkan headset
yang masih terpasang di telingaku.
Laki-laki itu masih melihatku, “Kamu dengar kan dia menyapamu?
Kenapa tidak kamu balas?”
Cerewet sekali laki-laki ini!
~
Saat bel istirahat berbunyi aku bergegas menuju beranda. Aku mau
makan bekal di sana.
Cuaca hari ini sangat baik.
Kudengar suara pintu terbuka, ketika aku menoleh kulihat laki-laki
itu bersama Shiyo, “Ngapain kalian di sini?”
Laki-laki itu memilih duduk di pagar sementara Shiyo duduk di
depanku. Dia meletakkan bekalnya di meja lalu membukanya satu-satu.
Mereka mengabaikanku. Aku manusia loh!
“Hiroshi-kun, ayo kita makan.”
Shiyo menatapku ragu, “Anu… Boleh kan kita makan bersama?”
“Terserah,” ucapku sambil memasukkan terlur gulung ke dalam mulut.
“Anu…”
Ada apa sih dengan orang ini?
“Hiroshi-kun, Kobayashi-san juga bisa melihat youkai.”
Juga?
Pernyataannya menarik perhatianku, aku melirik dan melepas
pandanganku dari kotak bekalku untuk pertama kalinya. Saat itu, tidak sengaja,
mata kami bertemu—mataku dan laki-laki bernama Hiroshi itu.
Laki-laki itu memberi respon dengan malas-malasan. Menyebalkan.
~
“Hiroshi-kun sejak kelas dua SMP sering sakit-sakitan. Sudah dibawa
ke dokter di kota tapi dokter bilang dia sehat-sehat saja, hanya kelelahan.”
Itu yang Shiyo katakan ketika kami mampir ke toilet sebelum kelas
berlangsung.
Kenapa juga aku harus mengingat detil seperti itu?
“Rumah Hiroshi-kun tidak jauh dari konbini dekat halte.”
Aaah! Kenapa aku—tunggu! Ini bukan isi kepalaku…
Aku meraih gelas kecil berisi air dan menyiramnya ke udara, tidak
lama terdengar teriakan dan desisan uap.
“Jangan menggangguku! Pergi sana!” ucapku pada obake rumah
tetangga yang entah kenapa jadi sering datang ke sini.
Kasih tahu tidak ya? Tapi…
~
“Ada youkai level tinggi yang memakan energimu,” ucapku
akhirnya.
Bisa kulihat Shiyo mendekap mulutnya, tidak percaya.
“Aku tahu,” ucap Hiroshi tenang, “Tapi aku tidak tahu bagaimana
cara membuatnya pergi.”
“Tapi, tapi… aku—,” Shiyo tergagap.
“Dia sering menyembunyikan auranya dengan menyamarkannya seperti
aura manusia biasa. Aku suka berjemur agar sedikit terasa lega.”
Aku menghela napas, “Oi Jii-san, kenapa gak keluar dan beri
dia solusi?”
“Jii-san?” Shiyo memiringkan kepalanya.
“Kakek biru itu harusnya tahu,” ucapku malas karena Aburasumashi
itu terus bersembunyi dan menyembunyikan auranya.
“Jii-san?”
Tidak
lama terdengar suara kekehan yang kudengar beberapa hari lalu.
“Tebakanku
benar,” ucap Aburasumashi itu sembari memunculkan diri, “Kenapa tidak kau coba
dengan kemampuan air sucimu?”
“Kenapa
aku harus melakukannya?” tanyaku sewot.
Untuk
apa aku membantu laki-laki yang membuatku kesal di hari pertama bertemu dan
bahkan tidak ramah sama sekali.
“Kobayashi-san,
kumohon.”
Shiyo
mendekapkan dua telapak tangannya dengan wajah memelas.
Aku
tidak punya pilihan, wajah Hiroshi masih datar tapi dia menatapku seakan ingin
tahu kebenaran yang tadi dia dengar.
“Oi,
kenapa terus bersembunyi di situ?” ucapku pada udara di sekitar Hiroshi.
Tidak
lama angin kencang bertiup ketika sosok besar muncul di punggung Hiroshi. Youkai
itu menggerak-gerakkan sesuatu seperti mulut, tidak bersuara normal hanya
terdengar lengkingan tapi aku tahu dia tidak suka diganggu. Harusnya dia tahu
aku lebih tidak suka mendengar suara cemprengnya dan aku tidak mau melakukan
ini demi laki-laki menyebalkan macam dia.
Aku
mengarahkan botol minumku yang terbuka ke arah Hiroshi membuat Hiroshi basah
kuyup dan sukses membuatnya melirikku tajam. Air suci seperti ini tidak akan
berpengaruh banyak pada youkai level tinggi. Youkai itu menjauh
sebentar lalu kembali mendekat untuk kembali menempel pada Hiroshi.
Aburasumashi menarik satu helai rumput kering dari pakaiannya dan melemparkannya
pada youkai itu. Sekejap youkai itu menghilang.
Aku
terkejut. Aku tahu Aburasumashi ada pada level youkai yang tidak bisa
dianggap enteng tapi aku tidak tahu hanya seperti itu bisa membuat seorang youkai
menghilang. Menghilang! Youkai level tinggi yang bisa menyamarkan
auranya!
“Jii-san,
kenapa tidak Jii-san lakukan dari dulu?”
Aburasumashi
terkekeh, “Kalau kulakukan saat youkai itu menempel padanya, nyawa dia
bisa ikut pergi.”
Aku dimanfaatkan. Cih.
…bersambung…
_Indara_
Hai Mayusa dan Indara! Salam kenal.
BalasHapusSaya sudah baca chapter 1 & 2~
Btw, sinopsisnya mana, ya? Kalau langsung dari chapter I itu rasanya agak aneh karena nggak ada bayangan tema atau masalah apa yang akan diceritakan. Saran saya, sinopsisnya dibikin ya.
Di chapter I ada kata-kata asing yang harus diberi catatan kaki (seperti kombini -walau udah ada di chapter II).
Sebenarnya saya sempat bingung dengan gender tokoh di chapter I sebelum dijelaskan di chapter II :)
Kemudian, rasanya tokoh Shiyo di chapter I dan chapter II itu agak beda -dari dialog-, di chapter I saya merasa dia orangnya tidak kikuk tapi di chapter II kikuk banget, jadi timpang karakternya. Mungkin bisa dijelaskan? Apa saya yang salah persepsi, ya?
Wah, udah cukup panjang saya komat-kamit di sini. Maaf ya!
Keep writing!
Hai juga Ariestanabirah, salam kenal~
BalasHapusterima kasih sudah berkunjung, membaca dan berkomentar ^^?
sinopsis ya... hmm kami gak kepikiran hehe, terima kasih masukannya... kami tampung; catatan kaki juga, agak lalai nih... tehe~
nah untuk gender, hmmm -chan gak keliatan dia cewek? walau -chan juga dipakai untuk anak kecil cowok seperti Shin-chan? tapi untuk anak cowok lebih menjurus -kun, kan? tapi kalau mengganjal, sepertinya perlu ada sedikit revisi deh... makasih
nah kalau kekikukan Shiyo itu cuma terhadap orang baru... gak keliatan? di chapter satu Shiyo juga kikuk waktu pertama kali berkenalan dengan Aburasumashi, hehe... kurang nampak ya? hmm :s
after all, arigatou gozaimasta ^^/