Kyoukai no Oretachi no Sekai
Chapter 1: Korigawa Shiyo dan Aburasumashi
Aku tidak pernah berpikir akan bisa melihat sesuatu
yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Suatu hari, ketika kemampuan itu
pertama kalinya kudapat, aku sedang membantu mempersiapkan kuil untuk perayaan
tahunan. Aku ingat saat itu umurku enam tahun.
Aku berdiri terpaku di tempatku, memeluk ember kayu
berisi air. Mataku menatap lurus ke bawah ke arah tangga kuil. Di sanalah sosok
aneh itu memunculkan dirinya. Sosok pendek bertubuh biru dengan kepala bulat
yang aneh. Aku mengernyit, mencoba mengidentifikasi sosok aneh itu. Ia memiliki
tangan dan kaki, serta berdiri layaknya manusia. Meski wajahnya itu memang
kelihatan aneh, selain warna tubuh dan rumput kering yang dikenakan sebagai
pakaian, tidak ada yang benar-benar berbeda dari manusia. Jadi dengan berani,
aku mencoba menyapa sosok itu.
“Apa Kakek ingin berdoa di kuil?”
Sosok yang kupanggil kakek itu menggeleng seraya
tersenyum. Ia masih berdiri tak bergerak di sana. Menatapku dalam dengan
matanya yang besar.
Aku mulai merinding ditatap olehnya seperti itu.
Tepat ketika itu, Hiragi-nii-san
menghampiri.
“Shiyo-chan,
ada apa?”
Hiragi-nii-san
adalah cucu dari anak pertama Kakek. Sama seperti orangtuaku yang sibuk bekerja
di kota, Ayah Hiragi-nii-san juga
menitipkan Hiragi-nii-san pada Kakek.
Dengan itu, aku sudah tinggal bersama di kuil ini dengan Hiragi-nii-san selama enam tahun hidupku.
Karena tidak ada anak kecil lain seumurku di kuil, Hiragi-nii-san satu-satunya sosok yang paling dekat denganku.
Ketika Hiragi-nii-san
berjongkok dan menatapku penasaran, aku merentangkan sebelah tanganku yang
bebas dan menunjuk ke bawah tangga.
“Ada kakek berdiri di sana sejak tadi, terus aku
tanya padanya apa dia mau berdoa di kuil, tapi dia menggeleng,” jawabku.
Segera saja, Hiragi-nii-san mengarahkan pandangannya ke arah yang kutunjuk dan
ekpresinya berubah bingung setelahnya.
“Aku tidak melihat siapa pun, Shiyo-chan,” Hiragi-nii-san berucap.
Aku mengernyit lagi dan kembali memandang ke bawah. Tidak. Kakek itu masih ada di sana kok.
Kenapa Hiragi-nii-san tidak melihatnya?
Sosok itu tiba-tiba saja bergerak meletakkan satu
jarinya di depan mulut, lalu tersenyum. Senyumnya kali ini lebih aneh dari
sebelumnya dan aku mulai merasakan sesuatu yang tidak nyaman menjalar di
tubuhku. Sensasi dingin yang menegakkan bulu roma.
Takut, aku meraih lengan Hiragi-nii-san dan mendekat diriku padanya.
“H-Hiragi-nii-san,
ayo pergi dari sini. Ayo masuk,” suaraku bergetar mengatakannya.
Meski masih bingung dengan apa yang terjadi, Hiragi-nii-san menganggukkan kepalanya dan
menggandeng tanganku pergi. Aku
tertunduk dan menggigit bibir bawahku. Aku sadar aku sudah melihat sesuatu yang
tidak seharusnya kulihat.
*
Sejak saat itu, sosok aneh lain mulai bermunculan di
sekitarku. Di sekolah, di jalan pulang, dan di dekat area kuil. Mereka selalu
muncul tiba-tiba lalu menakutiku. Meski aku mencoba tak menghiraukan mereka,
kemunculan mereka yang secara tiba-tiba dan tidak diduga itu memancing reaksiku,
membuat mereka mengetahui aku menyadari kehadiran mereka, lalu dengan itu
menjadikanku target untuk dikejar setiap kalinya.
Aku lelah. Aku takut.
Aku terus berteriak ‘Jangan ikuti aku!’ atau ‘Pergi
dari sini!’ dan semacamnya. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mendengarkan.
Setiap kali jam sekolah berakhir, dengan cepat aku membereskan barang-barangku
dan berlari pulang ke kuil. Dari setiap pengalamanku ini, aku sadar mereka
tidak bisa menginjak wilayah kuil dan menakutiku di sana, sehingga kuil adalah
satu-satunya tempat teramanku.
Dengan menyedihkan, aku terpaksa menolak ajakan
teman-temanku untuk bermain seusai sekolah karena hal ini dan secara perlahan
teman yang biasa menemaniku makan siang bersama di sekolah mulai berkurang.
Mengalihkan pandanganku dari kelompok teman-temanku
yang sedang berkumpul di sisi lain kelas, sedangkan aku satu-satunya yang
sendirian dengan kotak bento[1]
terbuka di atas meja, kuputuskan untuk menutup kembali bento itu dan
beranjak membawanya keluar kelas. Kurasakan sebagian dari mereka berhenti
mengobrol dan menatapiku ketika aku menggeser pintu dengan pelan.
*
Aku menemukan tempat yang bagus untuk memakan bentoku.
Sebuah ruang kosong di samping gedung kelas khusus yang menghadap ke arah
lapangan tenis. Sebenarnya aku sedikit takut berada di tempat sepi seperti itu,
tapi aku tidak tahu tempat mana yang sebaiknya kutuju, jadi aku memilih di
belakang ruangan itu. Aku akan malu sekali jika seseorang melihatku makan bento
sendirian saat istrirahat siang.
Tapi ternyata itu benar-benar keputusan yang salah!
Seseorang tiba-tiba berbicara padaku dari arah
belakang dan berkata:
“Apa yang sedang kau lakukan? Makan bentomu
sendirian di sini?”
Berpikir itu mungkin salah satu guru yang
memergokiku, aku melengah. Sayangnya, yang berdiri tak jauh di sana dan yang
barusan menyapaku itu adalah sosok kakek biru yang kujumpai pertama kali di
bawah kuil.
Mataku membulat tak percaya. Bentoku yang
terbuka terjatuh dari pangkuanku dan memuntahkan isinya. Air mataku meluap
begitu saja dan aku mencoba melemparkan apa pun yang ada di dekatku.
“Pergi! Pergi dari sini! Jangan dekati aku! Aku
benci kalian! Pergiiii!!”
Melemparkan sepatu, kotak bento yang sudah
kosong, bahkan kerikil kecil yang kupungut di sekitar tempatku berdiri menjaga
jarak darinya. Tidak tahu apa lagi yang bisa kulempar, aku menatap marah sosok
itu.
“Apa yang sebenarnya kalian inginkan dariku? Kenapa
mengangguku?”
Sosok itu berjongkok, mengambil sepatu dan kotak bento
yang kulemparkan padanya. Aku mengamatinya dengan takut yang lalu berjalan ke
arahku dengan benda-benda di tangan.
“Aku tidak menginginkan apa pun darimu dan… aku juga
tidak bermaksud mengganggumu,” ucapnya tenang. “Walaupun harus kuakui, yang
lain memang bermaksud mengerjaimu.”
Saat aku tengah mencerna kata-katanya itu, ia sudah
meletakkan sepatu dan bentoku dengan rapi dalam jarak satu meter dariku.
“Tapi aku mulai berpikir tindakan mereka sudah agak
keterlaluan akhir-akhir ini, jadi aku akan menegur mereka.”
Kupikir itu akan menjadi akhir kalimatnya karena ia
kembali berbalik memunggungiku dan berjalan menjauh. Tapi di sela-sela
langkahnya itu, ia berucap.
“Di pertemuan kita berikutnya, kuharap kita bisa
bicara dengan tenang, Shiyo-chan.”
*
Beberapa hari setelahnya, gangguan dari sosok-sosok
aneh itu berhenti. Tidak ada lagi yang mengagetiku tiba-tiba di kelas. Tidak
ada lagi yang mengejarku setiap pulang sekolah. Perlahan, semua terasa kembali
seperti semula seperti sebelum aku mulai dijauhi karena kelakuan anehku.
Ini terjadi seperti yang dikatakan Kakek biru itu.
Apa aku harus berterima kasih padanya?
Kupikirkan itu sembari mengeluarkan sepatuku dari
kotak sepatu. Hari itu para murid dipulangkan dengan cepat karena ada rapat
dewan guru. Sebenarnya ketika mendengar teman-temanku memanfaatkan waktu pulang
cepat itu untuk berkunjung ke rumah Rie-chan, aku ingin sekali
bergabung, tapi karena tidak mudah untuk bergaul kembali dengan mereka, niatku
itu terpaksa kutelan bulat-bulat dan berjalan gontai menuju kuil sambil
menendang batu-batu kecil.
“Oh! Kau pulang lebih cepat hari ini, Shiyo-chan.”
Menyadari milik siapa suara itu, aku melengahkan
kepalaku mencari sosok itu.
“Di atas.”
Di salah satu dahan di sebuah pohon besar di pinggir
jalan yang tak jauh dari posisiku, di situlah Kakek biru itu sedang duduk.
Aku agak ragu menjawabnya. Aku juga masih merasa
sedikit takut padanya, tapi ini mungkin kesempatanku untuk berterima kasih.
“K-kami dipulangkan karena para guru sedang rapat.”
“Hm… Begitu ya…”
Selama sesaat, Kakek itu tidak lagi mengatakan
apa-apa. Yang kudengar darinya hanya senandung dari lagu yang belum pernah
kudengar sebelumnya. Aku sendiri masih berdiri di sana, tanpa bergerak.
“A-anoo, Ji-san[2]…”
aku agak bingung harus memanggilnya apa, tapi ia sudah menyela lebih dulu.
“Panggil aku Aburasumashi.”
Aburasumashi? Itu namanya?
“A-Aburasumashi-san. Terima kasih sudah
menegur sosok aneh itu untukku. Mereka sudah tidak muncul lagi dan
menggangguku. Terima kasih banyak!”
Aku membungkuk punggungku. Memberanikan diri melihat
bagaimana sosok itu bereaksi, aku kembali berdiri tegak dan menatap ke arahnya.
Ia tersenyum. Matanya menyipit karena senyumnya itu. Namun dibanding perasaan
pertama kali yang kurasakan ketika bertemu dengannya, aku merasakan senyum itu
sama sekali tidak berbahaya dan benar-benar terkesan ramah.
“Tidak masalah bagiku. Lagipula, mereka hanya youkai kecil dan lemah yang suka
mengganggu manusia untuk kesenangan mereka.”
“Youkai?”
Aku menelengkan kepalaku bingung.
“Itu sebutan yang dibuat manusia untuk kami. Sosok
yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa. Ini sudah bulan ketiga kau bisa
melihat kami. Seharusnya Chihiro-kun menjelaskan sesuatu padamu.”
Ia menyebut Chihiro, nama kecil kakekku, memunculkan
pertanyaan baru dariku.
“Kau mengenal Kakek?” tanyaku tak percaya.
“Ya. Chihiro adalah manusia lain yang mampu melihat
kami selain dirimu,” jawabnya.
Karena Kakek sedang sibuk dengan urusan kuil
beberapa bulan terkahir, aku memilih kesempatan lain untuk menceritakan
penglihatanku ini dengan Kakek. Selama ini, aku hanya terus menceritakannya
pada Hiragi-nii-san.
Aku sedang memikirkan itu saat Aburasumashi kembali
bicara.
“Sepertinya dengan ini, penerus Chihiro sudah
ditentukan. Pemuda Hiragi itu harus menelan kembali rencananya. Ironis sekali.”
Aku tidak begitu mengerti kalimatnya saat itu, jadi
aku hanya mengabaikannya dan bertanya apa ia juga mengenal Hiragi-nii-san. Percakapan kami berlanjut
tentang bagaimana pertama kalinya Kakek melihat mereka dan hal-hal lainnya. Aku
terserap dalam setiap kata-katanya dan tanpa kusadari aku tidak merasa takut
lagi padanya.
*
Di usiaku yang keempat belas tahun, aku ditunjuk
sebagai penerus Kakek dan mulai menggantikan peran Kakek dalam beberapa
perayaan kecil di kuil. Secara mengejutkan, ini terjadi lagi tepat seperti yang
dikatakan Aburasumashi. Hubunganku dengan Aburasumashi sendiri kini sudah
seperti antarmanusia dan manusia. Aku tidak segan menyapanya, berjalan di desa
bersamanya, membicarakan banyak hal, dan terkadang ikut melakukan hal konyol
seperti yang biasa ia lakukan.
Kakek sendiri sudah menjelaskan segala hal padaku
tentang youkai di hari aku ditunjuk
sebagai penerusnya. Dibantu Aburasumashi, aku pun juga mulai mengenal jenis youkai lain dan beberapa sifat berbahaya
mereka. Dengan saran dari Aburasumashi pula, aku diminta untuk berhati-hati dan
mengandalkan naluriku untuk mengenali youkai-youkai berbahaya. Ia juga mengajariku
untuk mengendalikan diri ketika mereka tiba-tiba muncul, agar aku tidak
berkelakuan aneh seperti saat di sekolah dasar.
Berbicara tentang penglihatan ini, aku sudah tahu
bahwa Hiragi-nii-san tidak memiliki
penglihatan serupa, yang karena alasan ini tidak bisa menjadi penerus kuil
meski ia adalah cucu tertua Kakek. Kurasa itu menjadi pukulan keras baginya
yang sudah berusaha selama ini menjadi calon penerus. Ia sempat bersitegang
dengan Kakek karena hal ini, tapi hanya berlangsung sementara karena tak lama
kemudian, suasana di antara keduanya kembali seperti semula. Atau… itulah yang
selama ini kukira.
Pulang lebih cepat dari kegiatan ekstrakurikulerku,
aku berjalan menuju ruang kosong yang menghadap halaman belakang kuil yang ada
taman indah dengan kolam ikan koi di tengahnya. Aku sering ke ruangan itu hanya
untuk duduk, memandangi taman sambil menyeruput teh. Terlebih ruangan itu juga
tepat di samping kamar Hiragi-nii-san.
Kami berdua sering memandangi taman bersama.
Seorang petugas kuil yang kusapa di halaman depan
mengatakan Hiragi-nii-san sedang
pergi keluar sejak pagi, jadi aku tidak berpikir ada seseorang di kamarnya.
Tapi suara seorang wanita yang tiba-tiba terdengar dari ruangan itu mematahkan
dugaanku.
“Kau yakin kau akan bisa mendapat jabatan ketua
kuil?”
Wanita itu berkata seperti itu. Aku tidak mengenal
suara itu. Lagipula, jarang sekali Hiragi-nii-san
membawa tamu wanita ke rumah.
“Tenang saja. Aku sudah punya rencana merebut posisi
itu dari Shiyo-chan.”
Terdengar suara Hiragi-nii-san. Tidak hanya kata-katanya, aku juga tercekat karena nada
dinginnya ketika berbicara. Ntah kenapa, saat itu aku tidak mau beranjak dari
tempat itu meski aku tahu menguping pembicaraan bukan perbuatan baik. Jadi
dalam diam, aku masih di sana, mencoba mendengarkan.
Bisa kudengar wanita itu terkekeh menanggapi
pernyataan Hiragi-nii-san.
“Menjijikkan. Wajah dan nada bicaramu itu
benar-benar berbeda. Sepertinya ekspresimu setiap kali membicarakan gadis itu tidak
bisa diubah lagi. Kau harus melihatnya sendiri.” Wanita itu setengah bergurau
yang dibalas Hiragi-nii-san dengan
tawa singkat.
“Oh iya, ngomong-ngomong aku melihat gadis itu
beberapa kali bersama Aburasumashi. Mereka semakin dekat saja. Kau tidak akan
curiga Aburasumashi itu membeberkan rencana kita padanya?”
“Aku sempat khawatir tentang itu, tapi aku tidak
tahu apa yang harus kulakukan pada makhluk itu.”
“Kurasa kau bisa tenang sedikit.”
Jeda sesaat, sebelum wanita itu melanjutkan.
“Aku memerintahkan Ao-Sagi-bi mengawasi gerak-gerik
Aburasumashi. Kita akan segera tahu kalau makhluk itu membocorkan rencana dan
Ao-Sagi-bi akan langsung memperingatkan kita.
Segeranya, kita akan mengambil tindakan dengan gadis itu ataupun si Kakek Tua.”
“Sudah kuduga kau bisa diandalkan.”
Pembicaraan itu terhenti di sana. Merasa sudah cukup
mendengar semuanya, aku berdiri dengan pelan dan meninggalkan ruangan itu.
Kupegang nampan gelasku dengan erat, menyalurkan sedikit demi sedikit
perasaanku. Kurasa itulah pertama kalinya aku merasa semarah dan sekesal ini. Aku
tidak ingin memercayai apa yang aku dengar, namun semua itu jelas. Aku hanya
tidak ingin percaya Hiragi-nii-san bekerja sama dengan orang yang
kelihatannya berbahaya untuk mendapat jabatan ketua kuil. Tindakan seperti apa
yang mereka rencanakan jelas bukan sesuatu yang menyenangkan, aku bisa
mendapati diriku takut dengan apa yang mungkin terjadi padaku dan Kakek.
Kuletakkan
nampanku ke atas meja setelah sampai di dapur dan mencoba menarik napas dalam.
Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak ingin memberi
masalah pada Aburasumashi dan aku perlu melindungi Kakek.
*
Setelahnya, aku tidak banyak bertemu
Aburasumashi. Ketika bertemu pun, aku hanya mengajaknya bicara sebentar lalu
pergi dengan berbagai alasan. Aku sendiri berusaha bersikap normal di hadapan
Hiragi-nii-san selama makan malam,
walaupun aku mulai merasa takut padanya.
Hari itu sebelum semakin sore, aku menyempatkan diri
mampir ke konbini[3]
dekat halte dan setelah membeli beberapa hal yang kuperlukan, aku keluar dari
gedung kecil itu dengan sebungkus penuh belanjaan di tangan. Aku sudah akan
berbalik ke arah jalan menuju kuil ketika mataku menangkap sosok asing yang
berdiri di halte.
Itu seorang gadis muda, memakai pakaian yang cukup kasual
khas perkotaan, dan di dekatnya berdiri sebuah koper hitam besar. Gadis itu
tidak menyadari tatapanku karena sedang mengetik sesuatu di ponselnya.
Dengan tubuh langsing dan wajah cantik yang
dibingkai rambut hijaunya yang dikuncir kuda, gadis itu terlihat layaknya
seorang model di mataku. Jadi tanpa sadar, aku sudah menatapnya selama beberapa
menit. Kalau dia menyadari ini, ini pasti akan membuatnya tersinggung, jadi
segera saja kualihkan tatapanku darinya. Secara bersamaan, ia pun menyimpan
ponselnya dan melangkah ke arah yang berlawanan denganku.
Aku belum pernah melihat wajah itu sebelumnya, jadi
dia pasti warga pindahan atau kerabat dari seorang keluarga di sini. Saat itu
aku tidak begitu jauh memikirkannya, namun seperti menjawab pertanyaanku,
keesokan harinya seorang siswa baru pindahan dari kota diperkenalkan di depan
kelasku sesaat sebelum pelajaran pertama hari itu dimulai.
Bersambung…
_Mayusa-san
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentari ya ^^/